Hujan malam ini, membuat suasana kampung semakin ramai. Bukan karena
hiruk pikuk manusia penghuni kampung, tapi karena percikan air hujan
yang berjatuhan di tanah. Sesekali terdengar juga gemuruh petir yang
disertai kilatan cahaya. Deras. Menggelegar. Membuat para penghuni
kampung enggan keluar rumah.
***
Sebuah ruangan kecil berukuran tiga meter persegi. Terdapat dua buah
kursi kayu yang sudah tak layak pakai berjajar saling berhadapan. Tidak
terlihat barang mewah di sudut ruangan. Hanya sebuah lampu tempel yang
menerangi ruangan. Dinding ruangan yang tak lagi bersih, penuh dengan
noda tinta. Lantai tanah yang tidak merata, memberi kesan bahwa rumah
itu benar-benar tidak terawat. Di salah satu dinding, bertengger sebuah
ventilasi berukuran setengah meter persegi. Tidak ada penutup, sekedar
kawat berlubang yang dirangkai sedemikian rupa. Di sudut atap ruangan
terdapat sarang laba-laba yang sudah lama tidak dihuni pemiliknya.
Pengap.
Menemani kesunyian ruangan itu, seorang lelaki
paruh baya sedang duduk di salah satu kursi kayu miliknya. Bajunya sudah
kotor dan tak layak pakai lagi, hanya menggunakan sarung cokelat
bermotif kotak-kotak sebagai penutup kakinya. Dia tengah sibuk dengan
boneka beruang kecilnya. Boneka itu kumal. Berwarna cokelat, namun tidak
cokelat. Seperti tidak pernah dicuci oleh pemiliknya. Sepertinya dia
cukup terhibur dengan benda mati yang dia pegang. Sesekali dia lemparkan
boneka itu ke atas. Kemudian dia tangkap kembali dan tertawa. Entah apa
yang dia tertawakan. Yang jelas dia merasa senang dengan apa yang dia
lakukan. Kadang, tiba-tiba dia menangis sambil memeluk bonekanya.
Tangisnya lirih disertai ucapan-ucapan lirih pula. Tak terdengar.
***
Dia adalah Pak Min, begitu warga sekitar menyebutnya. Dia sudah lama
gila semenjak ditinggal mati anak kesayangannya ketika berusia dua
tahun. Semakin hari, badannya semakin kurus tak terawat. Entah dimana
keluarganya. Kabar terakhir, keluarganya meninggalkannya seorang diri
karena Pak Min sudah tidak kaya lagi, terlalu banyak hutang di bank.
Sehingga seluruh harta kekayaanya disita oleh pihak bank. Miris.
Latar belakang Pak Min tidak begitu jelas diketahui. Dulu, dia tinggal
di kawasan perumahan elit dekat kampung tersebut, namun sebelum dia
gila, pada saat kemiskinannya, dia bersama istri dan seorang anaknya
yang berumur setahun pindah ke kampung sebelah, dia menyewa rumah kecil
yang cukup dihuni keluarganya. Sempit, namun apa boleh buat. Di saat
seperti itu mereka tidak memikirkan hal tersebut. Yang penting mereka
dapat tempat belindung. Terutama bagi bayi mereka.
Keadaan seperti ini sempat membuat Pak Min kacau pikirannya. Namun, dia coba bertahan demi kelangsungan hidup anak dan istrinya. Hingga suatu hari, anak mereka mengalami demam yang cukup parah, mereka tidak mempunyai sepeser rupiah pun untuk membawa anak mereka berobat ke dokter. Istrinya sudah berusaha meminjam uang para tetangga, namun yang diberikan tetangga tidak cukup untuk menebus resep dokter. Maklum, kampung mereka adalah kampung pinggiran yang sebagian besar warganya bekerja sebagai pemulung. Hingga akhirnya takdir berkata lain, Tuhan memanggil anak mereka. Mati. Keadaan seperti ini membuat hidup mereka semakin parah, pikiran semakin kacau. Apa yang mereka lakukan, bertahan demi buah hatinya ternyata sia-sia. Tak ada lagi semangat hidup bagi mereka.
Hari demi hari mereka lalui dengan kesedihan dan kemelaratan. Tak ada lagi yang bisa mereka harapkan. Hingga akhirnya, istri Pak Min pergi meninggalkannya seorang diri. Entah kemana. Tak ada yang mengetahui. Hal inilah yang membuat Pak Min semakin kalut dengan pikirannya, sehingga dia menjadi seperti sekarang ini. Gila.
Keadaan seperti ini sempat membuat Pak Min kacau pikirannya. Namun, dia coba bertahan demi kelangsungan hidup anak dan istrinya. Hingga suatu hari, anak mereka mengalami demam yang cukup parah, mereka tidak mempunyai sepeser rupiah pun untuk membawa anak mereka berobat ke dokter. Istrinya sudah berusaha meminjam uang para tetangga, namun yang diberikan tetangga tidak cukup untuk menebus resep dokter. Maklum, kampung mereka adalah kampung pinggiran yang sebagian besar warganya bekerja sebagai pemulung. Hingga akhirnya takdir berkata lain, Tuhan memanggil anak mereka. Mati. Keadaan seperti ini membuat hidup mereka semakin parah, pikiran semakin kacau. Apa yang mereka lakukan, bertahan demi buah hatinya ternyata sia-sia. Tak ada lagi semangat hidup bagi mereka.
Hari demi hari mereka lalui dengan kesedihan dan kemelaratan. Tak ada lagi yang bisa mereka harapkan. Hingga akhirnya, istri Pak Min pergi meninggalkannya seorang diri. Entah kemana. Tak ada yang mengetahui. Hal inilah yang membuat Pak Min semakin kalut dengan pikirannya, sehingga dia menjadi seperti sekarang ini. Gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar