Kamis, 19 April 2012

hasil dari tes kepribadian

Setelah buka areabebasbersuara.blogspot.com, tertarik ikut tes kepribadian di http://www.ipersonic.net/ , nih hasilnya..haha..

Saya tipe kepribadian: Realis Sosial

Tipe Realis Sosial adalah orang-orang populer yang penuh energi. Mereka dapat diandalkan, terorganisir dengan baik, dan senang menolong. Nilai-nilai tradisional penting bagi mereka. Pembentukan keluarga juga memegang peran utama dalam kehidupan mereka. Tipe Realis Sosial memiliki sifat sosial yang menonjol. Mereka selalu siap mendengarkan kegelisahan dan masalah orang lain dan tidak pikir panjang ketika dimintai bantuan. Dengan empati dan pengertian, mereka dapat merasakan apa yang dibutuhkan orang lain. Tipe Realis Sosial selalu bersedia menghargai sifat-sifat baik orang lain dan memaafkan kelemahan orang itu. Mereka yang paling mudah bergaul dari seluruh tipe kepribadian. Kontak sosial sangat penting bagi mereka.

Tipe Realis Sosial sangat sulit menerima konflik dan kritik – keharmonisan adalah ramuan mujarab bagi hidup mereka. Pengakuan dan harga diri sangat penting bagi tipe ini. Di sisi lain, diferensiasi bukan salah satu kekuatan mereka. Dalam pekerjaan dan kemitraan, mereka setia, berkomitmen, dan selalu siap jika dibutuhkan. Mereka mudah berteman karena keterbukaan dan kehangatan mereka, dan mereka memiliki lingkaran besar pertemanan. Dalam asmara, mereka bisa dipercaya, penuh perhatian, dan menyayangi pasangan mereka dengan imajinasi dan kepekaan besar. Tipe Realis Sosial menunjukkan perasaan mereka dengan terbuka dan jujur. Jika hubungan mereka putus, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri. Itulah sebabnya mereka sulit mengakhiri hubungan sekalipun hubungan itu sudah tidak berhasil memenuhi kebutuhan mereka.

Tipe Realis Sosial adalah tipe yang lebih konservatif. Mereka memiliki tata nilai dan aturan yang kaku yang berorientasi pada tradisi yang tak lekang oleh waktu. Mereka lebih menyukai lingkungan dan proses kerja yang jelas dan terstruktur; mereka tidak menyukai terlalu banyak perubahan dan gejolak. Kekuatan mereka terletak pada diri mereka yang teliti dan dapat diandalkan dan bukan pada keluwesan dan spontanitas mereka. Tipe Realis Sosial hanya terbuka hingga batas tertentu terhadap hal-hal baru. Namun, jika Anda mencari orang untuk menyelesaikan tugas dengan dapat diandalkan dan tepat, merekalah orangnya.

Rabu, 18 April 2012

Cerita tak berlanjut.haha... (part 1 and 2)

        Hujan malam ini, membuat suasana kampung semakin ramai. Bukan karena hiruk pikuk manusia penghuni kampung, tapi karena percikan air hujan yang berjatuhan di tanah. Sesekali terdengar juga gemuruh petir yang disertai kilatan cahaya. Deras. Menggelegar. Membuat para penghuni kampung enggan keluar rumah.

                                                                                                ***
       Sebuah ruangan kecil berukuran tiga meter persegi. Terdapat dua buah kursi kayu yang sudah tak layak pakai berjajar saling berhadapan. Tidak terlihat barang mewah di sudut ruangan. Hanya sebuah lampu tempel yang menerangi ruangan. Dinding ruangan yang tak lagi bersih, penuh dengan noda tinta. Lantai tanah yang tidak merata, memberi kesan bahwa rumah itu benar-benar tidak terawat. Di salah satu dinding, bertengger sebuah ventilasi berukuran setengah meter persegi. Tidak ada penutup, sekedar kawat berlubang yang dirangkai sedemikian rupa. Di sudut atap ruangan terdapat sarang laba-laba yang sudah lama tidak dihuni pemiliknya. Pengap.
       Menemani kesunyian ruangan itu, seorang lelaki paruh baya sedang duduk di salah satu kursi kayu miliknya. Bajunya sudah kotor dan tak layak pakai lagi, hanya menggunakan sarung cokelat bermotif kotak-kotak sebagai penutup kakinya. Dia tengah sibuk dengan boneka beruang kecilnya. Boneka itu kumal. Berwarna cokelat, namun tidak cokelat. Seperti tidak pernah dicuci oleh pemiliknya. Sepertinya dia cukup terhibur dengan benda mati yang dia pegang. Sesekali dia lemparkan boneka itu ke atas. Kemudian dia tangkap kembali dan tertawa. Entah apa yang dia tertawakan. Yang jelas dia merasa senang dengan apa yang dia lakukan. Kadang, tiba-tiba dia menangis sambil memeluk bonekanya. Tangisnya lirih disertai ucapan-ucapan lirih pula. Tak terdengar.
                                                                                   ***
       Dia adalah Pak Min, begitu warga sekitar menyebutnya. Dia sudah lama gila semenjak ditinggal mati anak kesayangannya ketika berusia dua tahun. Semakin hari, badannya semakin kurus tak terawat. Entah dimana keluarganya. Kabar terakhir, keluarganya meninggalkannya seorang diri karena Pak Min sudah tidak kaya lagi, terlalu banyak hutang di bank. Sehingga seluruh harta kekayaanya disita oleh pihak bank. Miris.       Latar belakang Pak Min tidak begitu jelas diketahui. Dulu, dia tinggal di kawasan perumahan elit dekat kampung tersebut, namun sebelum dia gila, pada saat kemiskinannya, dia bersama istri dan seorang anaknya yang berumur setahun pindah ke kampung sebelah, dia menyewa rumah kecil yang cukup dihuni keluarganya. Sempit, namun apa boleh buat. Di saat seperti itu mereka tidak memikirkan hal tersebut. Yang penting mereka dapat tempat belindung. Terutama bagi bayi mereka.
       Keadaan seperti ini sempat membuat Pak Min kacau pikirannya. Namun, dia coba bertahan demi kelangsungan hidup anak dan istrinya. Hingga suatu hari, anak mereka mengalami demam yang cukup parah, mereka tidak mempunyai sepeser rupiah pun untuk membawa anak mereka berobat ke dokter. Istrinya sudah berusaha meminjam uang para tetangga, namun yang diberikan tetangga tidak cukup untuk menebus resep dokter. Maklum, kampung mereka adalah kampung pinggiran yang sebagian besar warganya bekerja sebagai pemulung. Hingga akhirnya takdir berkata lain, Tuhan memanggil anak mereka. Mati. Keadaan seperti ini membuat hidup mereka semakin parah, pikiran semakin kacau. Apa yang mereka lakukan, bertahan demi buah hatinya ternyata sia-sia. Tak ada lagi semangat hidup bagi mereka.
       Hari demi hari mereka lalui dengan kesedihan dan kemelaratan. Tak ada lagi yang bisa mereka harapkan. Hingga akhirnya, istri Pak Min pergi meninggalkannya seorang diri. Entah kemana. Tak ada yang mengetahui. Hal inilah yang membuat Pak Min semakin kalut dengan pikirannya, sehingga dia menjadi seperti sekarang ini. Gila.
 
 

Belajar nulis (part 3)

           Air mata membasahi pipi Pak Min yang keriput dan kusam. Dipeluknya erat-erat boneka itu seolah-olah tidak ingin kehilangannya. Tatapan matanya kosong jauh menatap bayangan dalam pikirannya. Tak ia hiraukan kerasnya petir malam itu, ia hanya diam menatap kekosongan. Tiba-tiba Pak Min berdiri, pandangannya tertuju pada boneka beruangnya, ia ciumi boneka itu berkali-kali sambil menangis. Sepertinya ia teringat akan seseorang yang dia cintai. Pak Min memang gila, namun ia masih dapat merasakan perasaannya sesekali. Ia tidurkan boneka itu di kursi kayu miliknya, sekali lagi dia mencium boneka itu dalam-dalam.
           Dia tidak berkata, dia berjalan keluar, tak peduli derasnya hujan malam itu. Pelan ia berjalan menuju ke sesuatu tempat. Meskipun langkahnya gontai, ia tetap melangkah pelan. Seluruh tubuhnya basah karena air hujan, namun ia tetap tidak peduli akan dinginnya malam itu, hingga akhirnya sampailah ia di gerbang perumahan mewah. Gerbang itu bertuliskan “Paradise Regency”. Di sisi kiri kanan gerbang terpajang patung bidadari yang membawa kendi air yang terbuat dari batu.  Tepat di sisi kanan terdapat pos satpam berukuran enam meter persegi, namun kosong tak berpenjaga. Sepertinya penjaganya sedang patroli keliling perumahan. Keadaan perumahan itu menggambarkan perumahan elit milik kalangan pejabat.
          Pak Min melanjutkan langkahnya setelah cukup lama berdiri di depan gerbang perumahan itu. Pelan ia melangkah, tak mengeluhpun karena kedinginan. Kemudian ia sampai di depan sebuah rumah mewah ber cat putih, pagar yang menjulang tinggi dengan dihiasi lampu hias di kanan kiri pagar. Putih menyala di tengah derasnya hujan. Sepertinya rumah itu tak berpenghuni. Tak terlihat satu lampu rumah pun yang menyala selain lampu hias di pagar. Diam Pak Min berdiri di depan rumah itu, raut wajahnya memelas seakan teringat akan sesuatu. Lama ia berdiri sampai hujan pun perlahan mulai reda. (bersambung)

Selasa, 17 April 2012

Prolog...

Malam. Aku tak tahu apa yang aku tulis saat ini. Tulisan ini hanyalah sebuah media pemuasku ketika aku ingin menorehkan hasratku. Hasrat yang tiba-tiba muncul, dan tiba-tiba menghilang. Terkadang aku sangat membenci menulis, namun di saat-saat tertentu nafsuku untuk menulis muncul kembali. Onani otak, mereka bilang. Memang memuaskan ketika kita dapat memindahkan apa yang ada dalam pikiran kita pada selembar kertas yang tak berharga. Namun berbeda ketika kertas itu penuh dengan guratan-guratan emas kita. Berharga karena di dalamnya berisi kalimat-kalimat retorika. Indah untuk dibaca. Menenangkan untuk dipahami.
Ketika arus pikiran mulai menyengat hasrat, ketika sebuah pena mulai menggores permukaan kertas dan ketika naluri berimajinasi sudah tak terkendali, semua itu akan terjadi dengan sendirinya. Menikmati setiap imajinasi, merasakan setiap kata dan memahami setiap kalimat akan terasa indah. Membiarkan nafsu menggeliat dalam otak kita. Memproduksi imajinasi-imajinasi liar. Bebas.
Malam. Mungkin ini menunjukkan arti kebebasan padaku. Bebas bukan berarti tidak memperdulikan lainnya. Bukan berarti pula lepas dari segalanya. Namun, bebas dalam artian memuaskan hasrat beronani kita. Onani otak, mereka bilang. Menuangkan segala ide, kreativitas, imajinasi, dan khayalan kita. Membebaskan hingga kita puas. Ya, puas.
Hingga pada akhirnya, kepuasan itu tidak sia-sia. Kepuasan itu membuahkan hasil. Susunan huruf menjadi kata. Susunan kata menjadi kalimat. Susunan kalimat menjadi paragraf. Dan susunan paragraf menjadi sebuah narasi. Menikmati setiap rangsangan dalam menulis. Hingga kitapun puas dengan onani kita. Ya, onani otak mereka bilang.